Oleh : Anshari Abu Shafiyyah*
17 Agustus 1945 adalah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, sebab pada hari itulah Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Hari proklamasi itu tidak bisa terlepas dari dua sosok pemimpin besar. Namun yang paling penting bagi saya adalah apa yang melatarbelakangi terjadinya proklamasi dan siapa sebetulnya orang-orang yang berada di balik kedua sosok proklamator kemerdekaan itu. Ini penting, sebab ternyata keberanian Soekarno (Bung Karno) dan Mohammad Hatta (Bung Hatta) berdiri untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bukan didasari inisiatif beliau berdua. Tetapi banyak orang-orang yang berjiwa heroik melakukan kerja keras dan pergerakan sebagai sebuah kontribusi mereka untuk kemerdekaan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia sangat erat kaitannya dengan Peristiwa Rengasdengklok, yaitu peristiwa penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda antara lain Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31” terhadap Bun Karno dan Bung Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00. WIB, Keduanya dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan terutama setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA (yang sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56.
Dipilihnya rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56.
Teks Proklamasi disusun di Rengasdengklok, di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik.
(Sumber : wikipedia)
Yang menarik dari peristiwa rengasdengklok ini menurut saya adalah para pemuda yang terlibat dalam aksi penculikan atau dengan kata lain melakukan “pengamanan” itu bukan hanya sekedar sebagai tim sukses proklamasi, tapi lebih dari itu, bagaimana mereka punya keberanian mendesak kalangan tua. Menurut saya inilah peran pemuda yang saat itu sangat diperhitungkan.
Saya memahami bahwa keheroikan seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang punya keberanian, ilmu, wawasan dan pengalaman atau karena pernah mengikuti pengkaderan khusus.
Mereka pasti berjiwa pembelajar, suka membaca, berjiwa aktivis, suka dengan kesibukan, menyukai tantangan, sering mengikuti aktivitas-aktivitas organisasi, dan punya loyalitas serta solidaritas yang tinggi.
Sering kita mendengar istilah “mengisi kemerdekaan”. Namun pertanyaannya, apakah kegiatan-kegiatan masyarakat dengan cara memeriahkan dengan berbagai kegiatan lomba olahraga dan seni selama ini layak dikatakan melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah gugur/
Jawabannya sederhana saja, yakni didalam “mengisi kemerdekaan” yang setiap tahun selalu diperingati pada tanggal 17 agustus itu, adalah mengambil pelajaran dari kepahlawanan mereka, yaitu :
Pertama, pentingnya mengembangkan potensi para Mahasiswa Islam zaman sekarang. Seperti gemar membaca, khususnya kisah kesuksesan para pejuang di masa yang lalu, mulai dari sejarah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para Sahabatnya, kisah para Tabi’in dan Tabiuttabi’in, serta kisah-kisah inspiratif para Ulama yang sukses dalam menguasai berbagai bidang ilmu agama. Mengembangkan potensi kader yang suka menulis agar bisa menyebarkan pemikiran Islami ditengah masyarakat, baik melalui media cetak, elektronik maupun media sosial.
Kedua, Memperkuat aqidah dan iman dengan cara mendalami ilmu tauhid dan dan rukun-rukun iman agar kemudian tumbuh menjadi kader yang kuat dalam mempertahankan agama dan membela negaranya. Menjaga ummat dari pengrusakan aqidah dari kalangan Atheis, Liberal, Syiah, Komunis maupun dari kalangan Orientalis.
Ketiga, memperbaiki keislaman dengan cara mengamalkan semua rukun-rukun Islam dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Menjaga shalat lima waktu secara berjamaah di Masjid. Memiliki semangat berinfak untuk perkembangan dakwah islam. Berinfak untuk pembangunan Masjid, Pesantren, Sekolah tahfidz Alquran, kegiatan-kegiatan dakwah dan pengiriman Da’i ke daerah-daerah yang belum tersentuh dakwah Ahlu sunnah wal jama’ah.
Semangat mengamalkan dan menjaga sunnah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam seperti shalat dhuha, shalat witir, tahajjud dan shalat sunnah lainnya, Dzikir pagi dan petang, suka silaturrahim.
Sunnah Rasulullah juga dalam hal penampilan misalnya memelihara jenggot, tidak isbal (berpakaian atau memakai celana diatas mata kaki), menjaga kebersihan badan, memotong kuku, menjaga kebersihan pakaian dan lingkungan. Hal ini penting, sebab kemerdekaan bangsa Indonesia juga sangat ditentukan oleh kuatnya keislaman orang-orang yang berjuang dizaman itu. Ada pak soekarno yang dekat dengan para ulama, jenderal soedirman seorang tentara yang luar biasa dalam membela islam.
Keempat, Kemampuan loby dan negosiasi juga tidak kalah penting untuk kemudian dikembangkan pada pribadi Mahasiswa Islam. Sebab keberhasilan para pemuda yang menculik dan mendesak bapak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tidak bisa terlepas dari kepiawaian mereka dalam melobi.
Kelima, mengisi kemerdekaan dengan dakwah dan tarbiyah. Dakwah artinya mengerahkan segala kemampuan untuk mengajak orang lain agar berislam dengan baik dan benar. Sedangkan Tarbiyah artinya program pendidikan komprehenshif yang dibangun atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah untuk membentuk pribadi muslim yang ideal.
Menurut saya mengisi kemerdekaan itu tidak cukup hanya dengan mengadakan turnamen olahraga dan perlombaan seni selama satu bulan. Tetapi harus mengisinya setiap bulan, pekan bahkan setiap hari. Dan itu hanya ada pada kegiatan dakwah dan tarbiyah.
Dua tujuan Negara Indonesia didirikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa insyaAllah bisa diwujudkan melalui Kegiatan tarbiyah sebagai aktivitas pendidikan non formal, dan dakwah sebagai gerakan amar ma’ruf-nahi munkar juga bisa ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana yang tercantum dalam teks Pembukaan UUD 1945.
Semoga bermanfaat
#Ayo Tarbiyah
*Anggota departemen keLDKan PP Lidmi periode 1437-1439 H/ 2017-2019 M.