MAKASSAR – Era 4.0 yang lebih dikenal dengan istilah era digitalisasi sedang menjadi perbincangan hangat dan kerap menjadi tema kajian ilmiah.
Bukannya tanpa sebab, beberapa lembaga atau perusahaan yang tidak mampu mengikuti arus cepat digitalisasi ini akhirnya harus menyerah dan sampai pada gulung tikar. Kondisi ini didefinisikan sebagai disrupsi. Sebagaimana disebutkan dalam Kuliah Pemikiran Islam (KUPAS) yang dilaksanakan oleh Departemen Kajian Strategis (Kastra) PD Lidmi Makassar.
“Disrupsi secara bahasa artinya gangguan. Siapa yang menggangu? Teknologi. Siapa yang diganggu? Petahana, gangguan inilah yang dipermasalahkan. Ada yang mengikut arus perkembangan sebagai tantangan dan peluang kemudian dia mengadakan pembaharuan, dan ada yang bertahan dengan pola lama dan berusaha memikirkan penghalang bagi teknologi itu,” papar Dr. Abdul Hamid Habbe saat membawakan materi KUPAS di Aula lantai III Warung Bakso Mas Cingkrang, Jalan A.P Pettarani, Ahad (1/12/2019).
Dia melanjutkan, diantara pihak yang berusaha melawan digitalisasi itu kemudian membuat penghalang agar digitalisasi itu terhambat dengan cara kerjasama dengan pihak tertentu.
Salah satu caranya lanjut dia adalah dengan membujuk regulator agar membuat aturan agar teknologi itu tidak digunakan.
“Misalnya adanya perusahaan transportasi umum yang menggugat adanya transportasi online, membujuk Pemerintah untuk membuat regulasi tertentu. Ini adalah bentuk upaya untuk melawan arus digitalisasi ini, dan ini terjadi pada semua lini, termasuk pendidikan,” tutur Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Ini.
Setelah memberikan pengantar mengenai kondisi disrupsi yang terjadi pada era 4.0, KUPAS dengan tema “Peta Ekonomi di Era Disrupsi” ini kemudian dilanjutkan oleh Pemateri dengan menjuruskan pembahasan pada dunia Ekonomi. Berikut poin-poin materi yang disampaikan pemateri:
- Topik mengenai peta ekonomi ini sangat menarik, sebab jika ingin memetakan ekonomi maka dimulai dengan melihat arah pergesertan sistem ekonomi sejak datangnya era digital.
- Disrupsi di bidang ekonomi terjadi pada pergeseran equilibrium. Bukan semata-mata perubahan, namun pergeseran atau pergantian, yakni meninggalkan paradigma lama dan menggunakan paradigma baru. Contohnya di Indonesia dari sisi transportasi ada Gojek dan Grab. Dari virtual Marketplace, ada Bukalapak, Tokopedia, dan lainnya, dan ini adalah paradigma baru.
- Dalam bidang keuangan, adanya Fantech akan mengancam bank konvensional maupun syariah. Dulu untuk menarik atau mengirim uang, maka harus mengantri. Sedikit terkurangi dengan mesin ATM. namun kini semakin menurun karena adanya Aplikasi Banking. Ini memicu bertumbuhnya usaha-usaha yang tidak saja dilakukan oleh sebagaimana model perusahaan di Indonesia yang bersifat Pagoda yang memunculkan Konglomerasi. Namun saat ini sekarang semua orang bisa berusaha, berkat adanya Common Denominator, pemicu-pemicu, terjadi sebaran yang dulu monopolistik Sekarang pasar bebas. Sebagaimana yang kita sebut sebagai Startup. Ini memicu pertumbuhan ekonomi. Akibatnya konsumsi juga meningkat. Sehingga rata-rata usaha yang omsetnya satu kali, kini menjadi tiga kali. Jadi terjadi pergantian paradigma ekonomi.
- Termasuk di kampus, virtual university, kini menjadi tren hangat di USA, yang diprediksi 20 tahun ke depan, perguruan tinggi di USA akan tutup, karena banyak pemain baru akan bermunculan. Karena ke depan yang dibutuhkan adalah skill, bukan lagi ijazah. Bukan lagi membutuhkan pekerjaan namun menyediakan pekerjaan. Akibatnya orang akan meninggalkan sekolah formal dan beralih ke pendidikan keterampilan. ini yang harus diantisipasi.
- Di Jakarta, solusi saat ini adalah digalakkannya virtual office, mengubah defenisi berkantor menjadi defenisi bekerja. Ketika virtual office ini terjadi, biaya komunikasi murah, maka gedung-gedung pencakar langit di Jakarta akan tidak berfungsi. Jadi efektivitas pekerjaan adalah selesainya pekerjaan, bukan berkantor. Banyak sekali yang terjadi seperti itu. Jadi peta ekonomi sekarang sedikit berubah karena adanya era digitalisasi ini. Jika kita melihat Marketplace, sebagaimana perkataan ketua asosiasi Marketplace di Indonesia, Tokopedia pelanggannya adalah 80 juta orang. Mall pun tidak akan mampu menampung jumlah sebanyak itu.
- Namun poin materi ini bukan di situ, karena era dengan nama yang berbeda-beda, sekarang 5.0 bahkan akan berubah menjadi 6.0. namun bisa jadi 5.0 ini adalah titik balik atau puncak, entah dunia akan kiamat, atau back to nature. Maka di akuntansi kini berkembang program Green Accounting. Bahkan perusahaan dipaksa untuk peduli terhadap lingkungan. Jadi tujuan orang di era digitalisasi ini adalah menyelamatkan lingkungan.
- Apa yang harus kita persiapkan? Ada yang menggelisahkan saya. Bank Syariah hampir 30 tahun, namun kerjanya baru 5%.
- Akuntansi yang berubah. Sebelumnya, komposisi antara fix asset (aset tetap atau aset yang kelihatan) dengan aset yang tidak kelihatan (platform), fix asset lebih besar porsinya. Di era digitalisasi, fix asset menjadi tidak penting, yang penting adalah platform, tidak membutuhkan bangunan lagi, transportasi dan lain-lain. Ini mengubah akuntansi.
- Di Indonesia, ada pekerjaan yang harusnya menjadi kewajiban bagi kita untuk dilaksanakan, terutama Pemerintah. Terakhir kita ribut mengimpor garam dan beras. Apakah SDA kita kurang? Tidak. Malah kini jurusan yang paling tidak diminati adalah Pertanian, bahkan dihapus. Ini yang ingin kita perbaiki. yang diubah bukan menumbuhkan minat usaha kita untuk menjadi startup baru, ini bukan menyelesaikan masalah. Karena masalahnya adalah spiritualitas.
- Mengapa orang Islam enggan berpindah dari bank Konvensional ke Syariah? Karena masih mempertimbangkan Cost dan Benefit, yang merupakan ciri mental-mental Kapitalistik, Materialistik. Padahal ini tentang halal dan haram. Umat Islam di Indonesia 85%, namun ada dua hal yang tidak tercapai, yakni entitas bisnis syariah (Perbankan), dan yang kedua adalah Zakat.
- Coba kita melihat riba. Riba itu dosa besar, dan dampaknya tidak hanya ke individu, namun ke masyarakat, negara serta dunia. Munculnya ketimpangan di dunia disebankan oleh riba. Bagaimana dengan Zakat? 317 T yang menjadi target, namun yang terkumpul hanya 3,8 T tahun ini di Indonesia. Apakah tidak ada lembaga zakat? Apakah bank syariah kurang profesional? Bandingkan dengan Haji dan umrah, yang bahkan orang rela antri dan berkali-kali naik. Terus apa masalahnya? Ternyata umat Islam masih individualistik. Masih mempertimbangkan Cost and Benefit. Mengapa orang enggan memakan Babi, zina dan judi? Karena berdampak langsung ke individu, Cost. Bagaimana dengan Haji dan Umroh? Karena ia individu, Cost. Zakat dampaknya tidak langsung ke Individu, ini benefit. Demikian pula riba, tidak langsung berdampak ke individu, namun ummat. Inilah masalah benefit. Inilah yang terjadi pada umat masa ini. Sangat jauh berbeda dengan generasi pendahulu, para Sahabat, yang menyumbangkan segalanya untuk agama, karena yang dipentingkan adalah ummah, bukan individu. Jadi untuk menghadapi era digitalisasi, yang mesti diubah adalah individunya. demikian pula ekonomi, yang penting adalah ummah.
- Ketika kita mementingkan ekonomi untuk ummah, yang menjadi ukuran adalah Cash low, bukan neraca. Jadi jika startup ukurannya adalah neraca, saldo, tidak akan menyelesaikan masalah. Yang diperhitungkan para konglomerat saat ini adalah asset. Jika digunakan neraca sebagai ukuran, maka Rasulullah shallahu alaihi wa sallam adalah orang miskin. Namun jika yang digunakan adalah Cash low, maka Rasulullah lah yang paling kaya.
- Kapitalisme dan materialisme adalah rohnya individualistik. Kita melihat firman Allah taala yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Terjemahan Alquran surah Al-A’raf: 96).
- Sekarang kita melihat paradigma industrial, 2.0, 3.0, dan 4.0 itu, era ini adalah anak kandung dari Kapitalisme dan Materialisme. Contohnya adalah sifat akuntansi mengikuti paradigma industri. Kurikulum yang digunakan pendidikan kita adalah berdasar pasar. Kita menyiapkan SDM untuk pasar. Sedang pasar itu sifatnya Individualism dan kapitalism. Jadi para Sarjana saat ini justru tidak menyelesaikan masalah. Karena akuntansi itu cucu dari positivisme dan kapitalism. Jadi institusi akuntansi adalah istana bagi isme tersebut. Mahasiswa adalah pekerja, yang siap ditempatkan di mana saja, job seekers. Akhirnya Mahasiswa menjadi budak-budak positivisme dan Kapitalisme. Jadi saya tidak gembira dengan 4.0. Karena bukan di situ masalahnya. Tapi yang harus dipikirkan adalah generasi yang berkarakter.
- Saya menyebutnya, mengintegrasikan antara nilai-nilai intelektual dan Spiritualisme. Positivisme dan Kapitalisme sifatnya intelektual. Maka tidak dibutuhkan kecerdasan lain. Padahal ada kebutuhan lain, yakni emosional dan spiritual. Contoh nyata, adalah bagaimana usaha yang digunakan umat Islam sekarang? Mart 212 terancam. Karena masyarakat kita individualis.
- Yang menjadi penggerak utama saat ini adalah ekonomi. Dulu siapa yang menguasai informasi maka dia akan menguasai dunia. Namun kini berubah. Para penguasa ekonomi di Indonesia, dia tidak menjadi pemimpin namun dia yang menggerakkan pemimpin, dari pusat hingga daerah. Merekalah pemilik modal yang menciptakan 4.0 itu.
Apa yang harus kita lakukan?
- Kita ikut dengan arus digitalisasi namun harus sambil memperbaiki karakter kita. Bukan untuk sekedar mengikuti arus, namun untuk membangun ummat. Maka kuliah-kuliah Intrepeneurship, harus diutamakan pada kemaslahatan ummat.
- Lidmi harus hadir untuk menjadi kontra bagi kebiasaan umum di kampus-kampus, atau menghadirkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh kampus. Misal dengan fenomena tertutupnya sebagian jurusan urgen hanya karena peluang kerjanya kecil. Pertanian misalnya yang justru menjadi masalah utama negara kita. Jika Lidmi hadir dan membuat lulusan SMA mau mengambil jurusan Pertanian, maka ini sesuatu yang luar biasa. Maka Lidmi harus menjadi problem solver.
- Manusia itu bisa dilihat dari dua perspektif, dari homo economicus dan homo religius. Pandangan manusia sebagai homo economicus akan berpengaruh pada ontologi kita. Kita memandang manusia dari yang fisik, yang metafisik tidak menjadi perhatian. Jika kita memandang manusia sebagai homo religius, maka kita akan memadukan metafisik dan fisik dalam epistemologi, ontologi dan aksiologinya.
- Silakan menjadi startUp, namun jangan lupa untuk memerhatikan sisi karakter. (*RH)