Lebih baik pemimpin kafir yang penting adil, daripada Muslim tapi zalim
Sepotong kalimat yang sekilas sangat memukau. Bahkan telah menyihir ribuan hingga jutaan penduduk negeri yang tengah kebingungan mencari sosok pemimpin yang didambakan. Kalimat tersebut terkesan ingin menekankan pada nilai keadilan seorang pemimpin, bahwa siapapun tokoh pemimpinnya, keadilan adalah segala-galanya. Namun, disadari atau tidak, kalimat tersebut mengandung anomali logika.
Sebuah kalimat yang membawa pesan pembodohan sekaligus menampakkan kesan keputusasaan yang sangat akut,menggambarkan kondisi bangsa yang tengah krisis sosok pemimpin ini. Sebuah krisis yang dengan cepat dimanfaatkan oleh para pendukung ideologi sekularisme untuk menancapkan ranjau-ranjau pemikiran mereka. Yah, kita akan berbicara sedikit tentang sekularisme.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata sekularisme diartikan sebagai paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Maka tentu wajar saja bagi para sekularisjika urusan negara ini tidak dicampuradukkan dengan agama, karena ajaran agama, oleh mereka, selalu dianggap konservatif, rawan perpecahan dan anti persatuan. Dalam paradigma sekuler, kebenaran atau kebaikan cukup didasarkan padanilai-nilai kemanusiaan (humanity), rasionalitas (rationality), dan ilmu pengetahuan (science), bukan doktrin agama yang cenderung dogmatis.
Sekularisme dalam garis sejarah
Cikal bakal ideologi sekularisme muncul dari pergolakan para penganut gereja di Eropa sekitar abad 15. Pihakotoritas gereja yang mengekang segala bentuk inovasi pemikiran dan sains pada masa itu, rupanya membuat masyarakat kian fobia dengan agama. Di sisi lain, masyarakat mulai menilai bahwa praktek-praktek keagamaan berlawanan dengan nilai moralitas dan melampaui batas logika manusia, seperti penjualan surat pengampunan dosa, yaitu seseorang membeli sebuah surat pengampunan dosa dengan harga yang sangat tinggi dan surga sebagai jaminannya,sekalipundia adalah seorang pelaku dosa. Tirani yang dilakukan pihak gereja kianmenenggelamkan masyarakat Eropa ke dalam satu masa yang dikenal dengan the dark age.
Kekusutan akhirnya terurai ketika masyarakat Eropa bangkit dari kungkungan doktrin gereja, sebuah gerakan yang dikenal dengan istilah renaissance.Gerakan tersebut berujung pada sebuah revolusi besar yang dipelopori oleh Martin Luther, Rousseau, dan Spinoza. Tahun 1789 M, Prancis berhasil mendeklarasikan dirinya sebagai negara pertama yang bebas dari intervensi agama. Fase berikutnya, wujud kekecewaan masyarakat terhadap ajaran gereja yang dogmatismemicu munculnya pemikir-pemikir Barat yang anti Tuhan dan lebih mengedepankan rasionalisme, seperti paham Darwinisme, Freudisme, Eksistensialisme, Ateisme, hingga Nietche yang lantang menggelorakan kalimat Tuhan Sudah Mati. Akibatnya, agama semakin terpinggirkan, dianggap tidak lagi relevan dengan kehidupan manusia.
Masyarakat dunia semakin menerima logika-logika para pemikir Barat, bahwa segala urusan kehidupan masnusia bisa diatasi dengan ilmu pengetahuan manusia sendiri, Tuhan tidak perlu ikut campur. Paham sekularisme tersebut dengan cepat menjangkiti bangsa-bangsa di dunia, tidak terkecuali negara Islam seperti Turki, Mesir, Tunisia, Malaysia, dll.
Di Indonesia sendiri, paham sekularisme yang dibawa oleh para Kolonial Belanda menancap cukup kokoh dan langgeng hingga turut andil dalam rancangan proklamasi kemerdekaan.Sejarah mencatat rapi rangkaian peristiwa ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang tergabung dalam Panitia Sembilan mengadakan persidangan untuk menentukan dasar negara, hingga lahirlah sebuah gentleman’s agreement yang sangat luhur pada tanggal 22 Juni 1945 yangdikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sebuah kesepakatan yang sangat kental ideologi Islamnya. Namun, setelah dibacakan pada hari kemerdekaan sebagai pembukaan (preamble) UUD 1945, keesokan harinya, 18 Agustus 1945, rangkaian kalimat “… dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”segera dihilangkan, diganti dengan kata “Ketuhanan yang Maha esa”.
Apapun spekulasi yang bergolak seputar penggantian tujuh kata itu, pada kenyataannya hawa sekularisme tampak begitu kuatmempengaruhi ideologi bangsa. Akhirnya, Negara KesatuanRepublik Indonesia berdiri dari asas Islam yang dikompromikan ─untuk tidak mengatakan disekulerkan.
Sekularisme dalam Perspektif Islam
Dalam dunia Islam, istilah sekuler pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog Turki. Pada abad 20, Turki menjadi negara Islam pertama yang dicetuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk sebagai negara sekuler.
Dari sudut pandang ulama Islam, Yusuf Qardhawi menyebutkan, seperti dikutip pada ensiklopedia Britania,sekularisme merupakan gerakan untuk memalingkan manusia dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi pada kehidupan dunia. Istilah sekuler selalu mengandung makna konotasi negatif, yakni pemisahan antara urusan dunia dan agama, sehingga sejatinya paham sekuler ini merupakan musuh semua agama, termasuk Islam. Padahal dalam Islam, tidak pernah ada pemisahan dimana ilmu pengetahuan, nilai kemanusiaan, atau rasionalitas di satu sisi, dan ajaran Islam di sisi lain.
Sedangkan di Indonesia, penyebaran paham sekularime yang kian gencar mendesakMajelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional VII tahun 2005 mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, bahwa paham-paham tersebut adalah haram dalam Islam. Paham sekularisme dianggap sesat karena penganutnya berani melakukan kompartemen kehidupan: yang duniawi dan ukhrawi; imanen dan transenden.
Dalam ajaran Islam, Allah swt menghendakisegala urusan kehidupan manusia diatur dengan hukumNya. Firman Allah swt dalam QS. Surah Al-Baqarah 208, “Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan”merupakan pernyataan yang tegas bahwa agama dan kehidupan adalah dua hal yang tak terpisahkan, sehingga dapat pula dipahami bahwa Islam harus menjadi tolok ukur utama dalam menghukumi setiap perkara, baik atau buruk; benar atau salah.
Menjelaskan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman menyeru para hambaNya yang beriman kepadaNya serta membenarkan RasulNya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir 1/335).
Kepemimpinan dalam Islam
Ideologi sekuler sebenarnya tidak sepenuhnya menafikan kehadiran agama dalam kehidupan. Ideologi ini hanya menolak melibatkan agamadalam urusan keduniaan. Maka seorang Muslim yang sekularis, misalnya, tidak lagi melihat Islam sebagai the way of life, melainkan sekadar the way of personal life. Islam tidak lagi dilihat sebagai solusi dari setiap permasalahan umat. Islam tidak lebih dari sebentuk keyakinan yang dianut untuk diri sendiri, tidak untuk orang banyak, apalagi sebagai aturan negara. Sehingga urusan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan urusan-urusan kehidupan yang lain tidak perlu dicampuradukkan dengan ajaran agama, cukuplah ilmu pengetahuan manusia dan nilai-nilai filosofis kemanusiaan yang mengatur baik-buruk, atau benar-salahnya.
Kembali melihat pergolakan kepemimpinan di bumi pertiwi, akhir-akhir ini sebuah propaganda yang sangat kontroversial sedang dilancarkan ke tengah-tengah masyarakat, khususnya kaum Muslimin di ibu kota.Pernyataan bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pemimpin Muslim yang zalim telah terang-terangan menggugat nash-nash dalam Al-Qur’andan hadits-hadits Rasulullah saw. Sekali lagi, inilah buah dari sekularisme yang tumbuh subur di negeri kita tercinta. Urusan memilih pemimpin tidak lagi dilihat sebagai bagian dari ibadah kepada Allah swt. Urusan memilih pemimpin tidak lagi dilihat sebagai wujud implementasi ajaran-ajaran agama. Padahal telah baku dalam Islam bahwa mengangkat pemimpin kafir di antara kaum Muslimin adalah haram, firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka ….” (QS. Al Maidah: 51)
Maka pernyataan ‘lebih baik pemimpin kafir yang penting adil, daripada Muslim tapi zalim’ sempurna menggiring masyarakat ke dalam jebakan ideologi sekuler, karena sejatinya memilih seorang pemimpin tidak sekadar melihat keadilannya, meskipun keadilan adalah unsur terpenting dari sebuah kepemimpinan. Dalam paradigma Islam, kita melihat sesuatu yang jauh lebih hakiki, bahwa seorang pemimpin adalah panutan dalam segala hal, sosok yang menjamin keselamatan rakyatnya di dunia dan di akhirat.
Maka mengangkat seorang pemimpin Muslim, sekallipun zalim, tetap lebih baik daripada seorang pemimpin yang kafir, sekalipun dalam standar sekuler dia dianggap adil. Seorang pemimpin Muslim, bahkan jika ia zalim, setidaknya lebih bisa memahami kondisi saudara-saudaranya, lebih mengerti kepentingan ibadah saudara-saudaranya, atau paling minimal tidak menghalangi saudara-saudaranyamenjalankan ajaran agama dalam urusan keduniaan. Mungkin ada baiknya kita cermati perkataan berikut, dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra:
“Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih aku sukai daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Kabir, sahih). Kedudukan non-muslim dalam Islam sangat jelas, pengingkaran mereka terhadap ketuhanan Allah swt meletakkan harga diri mereka di tempat serendah-rendahnya. Jangankan menjadi seorang pemimpin, menjadi seorang teman dekat saja tidak pantas.
Logika terakhir yang patut kita pertimbangkan adalah kedudukan kafir sebagai dosa terbesar. Sebagaimana rakyat tentu tidak sudi dipimpin oleh seorang pelaku dosa seperti koruptor, pezina, atau pembunuh, maka rakyat seharusnya lebih tidak sudi jika dipimpin oleh seorang pelaku dosa terbesar, kafir.
Semoga bangsa ini bisa kembali menyadari jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka di tangan pejuang dan pemikir-pemikir Islam. Hingga tidak mustahil jika kelak Indonesia menjadi sebuah negara yang sempurna berhukum dengan hukum-hukum Allah swt.
Sudah cukup kita dicekoki dengan logika-logika menyesatkan dari kaum sekuler. Kenapa tidak kita ganti kalimat propaganda pesimistis itu dengan kalimat yang jauh lebih optimistis? Masih banyak sosok pemimpin Muslim yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, karena Pemimpin Muslim yang adil jauh lebih baik daripada pemimpin kafir, sekalipun dia (dianggap) adil.