Oleh: Ustadz Erwin Ardiansyah S.Pd.
(Ketua Pengurus Wilayah LIDMI Sulawesi Selatan)
Masih ingatkah kita kisah tentang dikeluarkannya Iblis dari Syurga? Masih ingatkah kita kisah tentang ditenggelamkannya Fir’aun? Tentunya iya, apalagi kita sebagai seorang aktivis dakwah yang sering mengikuti kajian keislaman. Tahukah kita, apa yang menjadi sebab diturunkannya azab kepada mereka? Betul, karena sifat kesombongan yang membuncah dalam hati mereka. Sifat ini bisa dikatakan sifat yang sangat membinasakan. Karena ancaman bagi pelakunya tidaklah main-main, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda; “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada takabur (kesombongan) walau hanya seberat dzarrah (atom).” (H.R. Muslim).
Bahkan, sesuatu yang diidam-idamkan oleh setiap muslim, yaitu kecintaan Allah Azza wa jalla kepada dirinya pun lenyap karena sifat yang satu ini, sebagaimana firman-Nya; “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (Terjemahan Surah An Nahl:23).
Maka ketika musibah ini menimpa seorang hamba, maka kehidupannya akan menjadi tidak tenang dengan segala kesulitan dan permasalahan yang ia hadapi. Bahkan ia akan semakin jauh dari kebenaran.
Allah Azza wa jalla berfirman;
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku” (Terjemahan Surah Al A’raf:146)
Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berkata, “Siapa yang kedurhakaannya karena suatu nafsu, maka saya berharap dia segera bertaubat, sebab Adam juga durhaka karena terlena oleh nafsu lalu dosanya diampuni. Tetapi jika kedurhakaan karena takabur, maka hendaklah dia takut terhadap laknat, sebab iblis durhaka karena dia sombong, lalu diapun dilaknat.”
Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam kitab Minhajul Qasidin menyebutkan bahwa para ulama dan ahli ibadah membagi bencana Sombong menjadi tiga tingkatan:
- Sombong terhadap manusia bersemayam didalam hati seseorang. Dia melihat dirinya lebih baik daripada orang lain. Hanya saja dia tetap tawadhu’. Berarti didalam hatinya ada benih takabur yang disemai. Hanya saja kemudian membahat dahan-dahannya.
- Dia memperlihatkan kehebatan dirinya kepadamu saat berkumpul-kumpul, dia merasa lebih maju dari rekan-rekannya dan tidak terima jika ada yang meremehkan dirinya. Dalam hal ini engkau melihat ulama yang memalingkan muka, seakan dia tidak mau melihat manusia, atau ahli ibadah yang wajahnya seakan-akan melecehkan mereka. Dua orang ini berarti tidak mengetrahui adab yang disampaikan Allah kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, saat berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy Syu’aro: 215)
- Menampakkan takabbur dengan lidahnya, seperti membual, membanggakan diri, menganggap dirinya suci, mengisahkan berbagai kejadian untuk membanggakan diri kepada orang lain, begitupula mengagung-agungkan keturunannya. Artinya orang yang berketurunan ningrat membanggakan diri terhadap orang yang bukan dari kalangan ningrat, sekalipun orang yang kedua lebih baik amalnya.
Jika kita telah menelaah beberapa hal diatas, maka dalam persoalan “kekayaan” akhirat tentu seorang Ulama, ahli ibadah, dan aktivis dakwah yang paling berpotensi terjatuh pada sikap kesombongan ini. Karena mereka memiliki kekayaan akhirat tersebut, yang berpeluang untuk disombongkan disebabkan oleh jebakan dan hasutan Syaithan. Maka patut bagi seorang aktivis dakwah untuk selalu dan terus berhati-hati untuk tidak terjatuh pada permaslahan yang sangat membinasakan ini.
Tentu kita tidak ingin, kekayaan akhirat kita, habis dan percuma karena satu sikap yang Allah dan manusia sangat membencinya. Mari perbanyak berdo’a kepada Rabb yang menguasai dan membolak balikkan hati hambaNya.
Bagaimana cara kita mengobati penyakit ini? Diantaranya adalah kita harus menyadari bahwa, kita berasal dari sesuatu yang hina. Yaitu berasal dari tanah, kemudian dari setetes mani yang dimana tempat keluarnya dari tempat keluarnya air seni. Maka apa yang patut untuk kita sombongkan?
Juga mari wujudkan dalam diri kita sikap tawadhu’. Sifat tawadhu’ adalah sifat pertengahan antara sombong dan merasa hina. Inilah sifat yang telah di contohkan Nabi kita dalam akhlaknya yang mulia.
Editor: Rustam Hafid