Oleh : Tareq Albana*
Tepat 8 Maret 2018 diperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) sebuah hari bersejarah yang telah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mungkin belum banyak diantara kita yang tahu bagaimana sejarah awal mula dirayakan nya Hari Perempuan se dunia ini. Singkatnya, hari perempuan se dunia ini pertama kali tidak dirayakan pada tanggal 8 maret, melainkan pada tanggal 28 Februari tahun 1909 yang diselenggarakan oleh partai sosialis Amerika Serikat.
Kala itu partisipan sosialis memang sudah lazim melakukan perayaan untuk para buruh, dan perayaan ini belum diikuti oleh publik dunia ketika itu. Namun beberapa tahun kemudian terjadi Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para perempuan di Petrograd, Soviet. Saking besar nya demonstrasi tersebut sampai bisa memicu terjadi nya Revolusi Rusia, sejak itulah Hari Perempuan Internasional dijadikan sebagai hari libur resmi di Soviet Rusia pada tahun 1917 dan dirayakan secara luas di Negara sosialis maupun komunis kala itu.
Baru pada tahun 1977 Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh PBB untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Berbicara mengenai Pejuangan hak perempuan, sebagaimana nilai moral yang disampaikan oleh Hari Perempuan ini secara kebetulan terjadi saat masyarakat di Indonesia dihebohkan dengan berita kontroversial pembinaan atau konseling terhadap sebagian Mahasiswi bercadar di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Sampai saat ini sudah ada 42 mahasiswa UIN Suka yang terdata dan sedang dibina oleh pihak kampus. Mahasiswa tersebut tersebar di berbagai fakultas dan jenjang strata. Tak main-main, pihak kampus akan mengeluarkan mahasiswanya yang tetap menggunakan cadar setelah dibina.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa cadar adalah penutup wajah yang sudah dikenal oleh muslim Indonesia sejak lama. Apalagi cadar sangat lumrah dipakai oleh santriwati yang nyantri di beberapa Pondok pesantren. seperti yang banyak dijumpai di Jawa dan Sumatera. Cadar juga dipakai oleh istri Nazaruddin (koruptor dan mantan kader Partai Demokrat). Namun belakangan ini, pemakaian cadar mulai diusik oleh pihak-pihak yang ingin menghapuskan identitas islami yang ada di Indonesia.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Yudian Wahyudi bertutur sebagaimana yang dilansir oleh BBC.com mengatakan bahwa pemakaian cadar oleh mahasiswi dituduh sebagai gejala peningkatan paham radikalisme. Tak tanggung-tanggung rektor ini pun meminta para mahasiswi ini tidak datang ke kampus jika tetap pada pendirian nya untuk memakai cadar. Profesor alumnus sebuah kampus beken di Amerika ini menganggap pelarangan cadar adalah sebuah langkah penyelamatan para mahasiswi dari paham radikalisme.
Namun sebagai Universitas berlabel Islam, pelarangan cadar adalah sebuah peraturan yang tidak tepat. Lalu tuduhan bahwa mahasiswi yang memakai cadar adalah tanda dan gejala dari paham radikalisme ini juga terkesan aneh, karena belum tentu orang yang memakai cadar adalah tanda bahwa dia terjangkit paham radikal.
Bisa jadi seorang Mahasiswi memakai cadar karena perintah orang tua dan ustadznya, bukan atas kehendak nya sendiri. Lalu bagaimana pula jadinya jika pihak kampus ikut-ikutan mencampuri urusan norma dan budaya yang telah melekat didalam keluarga seorang mahasiswi tersebut?
Apalagi jika kita melihat bahwa di UIN Sunan Kalijaga tidak ada pemisahan kelas antara laki-laki dan perempuan sehingga wajar saja jika sebagian mahasiswi, terutama bagi mereka yang berparas cantik menjadi risih dilihat ataupun digoda oleh mahasiswa lain nya sehingga mahasiswi ini memilih untuk memakai cadar untuk kenyamanan dan keamanan dirinya. pemakaian cadar bukanlah gejala radikalisme sebagaimana yang disebutkan oleh pihak UIN.
Sebenarnya aturan ini akan menjadi masuk akal jika pihak UIN Sunan Kalijaga memisah kelas antara laki-laki dan perempuan sehingga pihak Kampus bisa meminta para mahasiswi untuk tidak memakai cadar karena mereka berada di lingkungan yang terbebas dari laki-laki. Ditambah lagi jika memang pihak kampus ingin melarang penggunaan cadar semestinya disertakan dengan alasan yang memiliki landasan yang kuat, bukan dengan alasan Praduga atau hanya menyertakan alasan “terindikasi radikal”. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa kampus dipenuhi oleh kalangan terpelajar dan tentu nya alasan yang dikemukakan pun Ilmiah dilengkapi dengan data ataupun fatwa. Bukan hanya sekedar menduga-duga.
Jika memang pihak kampus melihat bahwa pemakaian cadar adalah gejala radikal, lalu bagaimana tolak ukur radikal yang sebenarnya oleh pihak kampus? Tentu nya sebelum menetapkan peraturan pihak UIN bisa berkonsultasi dengan pakar, seperti Majelis Ulama Indonesia yang fatwa-fatwa nya diakui oleh pemerintah dan menyepakati gejala-gejala radikalisme di kalangan mahasiswa kampus.
Faktanya, MUI bahkan juga Ikut berkomentar mengenai pelarangan cadar ini, dan menyebutkan bahwa indikasi radikal tidak bisa dilihat hanya dari cadar ataupun aksesoris lain nya, hal ini dutarakan oleh Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid. beliau juga menambahkan bahwa pemakaian cadar atau tidak tergantung seberapa dalam pemahaman seorang mahasiswi terhadap Islam.
Cadar bukan hanya tentang budaya Arab atau tidak, namun lebih kepada pilihan wanita untuk menjaga kehormatan dirinya. Barangkali sebagian Mahasiswi memakai cadar karena tidak nyaman sering digoda oleh rekan sejawatnya di kampus. Memakai Cadar di Kampus Islam sekelas UIN harusnya adalah Hal yang Lumrah.
Pelarangan cadar oleh pihak kampus justru mencoreng nama UIN Sunan Kalijaga sebagai Universitas berlabel Islam itu sendiri, sebagaimana yang kita ketahui bahwa pelarangan cadar adalah hal yang biasa dilakukan oleh Negara-negara barat seperti di Perancis, karena Negara-negara itu terjangkit Islamophobia atau ketakutan yang sangat terhadap Islam. Ditambah lagi dengan jumlah penduduk muslim yang sedikit membuat peraturan tersebut menjadi diberlakukan.
Justru sangatlah lucu jika ada pelarangan cadar berlaku di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Pelarangan cadar hanya akan mencoreng nama UIN itu sendiri, ditambah lagi dengan mayoritas penduduk Muslim tentunya rakyat Indonesia tidak akan membiarkan peraturan-peraturan nyeleneh yang dikemas dalam bentuk “Mencegah Radikalisme” sebagaimana yang gencar dilakukan oleh Negara-negara barat.
Semestinya kampus UIN fokus untuk peningkatan kualitas kampusnya bukan malah terjebak dalam hal-hal kontroversial yang akan mengganggu fokus Kampus itu sendiri. Betul pernyataan Fadh Aldrich dalam akun facebooknya (11-3-2018), “Daripada mengurusi cadar, semestinya rektor UIN fokus meningkatkan mutu dosen-dosennya. Dorong mereka menulis karya ilmiah. Jika ada yang liberal apalagi yang melakukan plagiarisme, segera ditindak tegas!. Rektor UIN harus memerangi nepotisme dalam perekrutan dosen dan karyawan. Bagaimana UIN bisa menjadi World class university jika budaya nepotisme masih subur.”
Jika memang pemakaian cadar adalah tolak ukur Radikalisme, bagaimana dengan muslim yang ada di Arab Saudi, Mesir serta negara-negara timur tengah lainnya? Apakah pihak UIN bisa menyebut bahwa Negara timur tengah itu Radikal? Lalu jika memang radikal, maka sumber mata pelajaran yang diterapkan di UIN yang notabenenya adalah Kampus Islam tentunya bisa juga dibilang radikal karena sedikit banyaknya sumber materi kuliah keislaman yang ada di UIN diambil dari Negara-negara timur tengah. Bahkan Syekh Ali Jum’ah, Mantan Mufti Mesir menyatakan bahwa penggunaan cadar harus melihat lingkungan terlebih dahulu, jika memang lingkungan asing terhadap cadar maka sebaiknya tidak digunakan. Hal ini kembali kepada pernyataan penulis diatas bahwa pelarangan cadar akan menjadi wajar jika diterapkan di kampus umum (kampus Kristen), bukan kampus islam yang besar sekelas UIN Sunan Kalijaga.
Selanjutnya, Bukankah kita kemarin baru saja memperingati Hari Wanita Se-Dunia dimana pesan moral yang terkandung didalam perayaan ini adalah memperjuangkan Hak wanita? tidakkah kita melihat bahwa pelarangan cadar di kampus justru adalah pelanggaran terhadap hak wanita muslim Indonesia.
Lihatlah kepada negara tetangga kita, Malaysia yang memberi kebebasan kepada muslimah nya untuk memakai cadar dimanapun termasuk di Kampus-Kampus Islam. Peraturan ini seolah membatasi hak wanita dalam menjaga dirinya, pihak UIN pada dasarnya juga belum siap untuk memberlakukan peraturan ini, namun entah mengapa peraturan tersebut tetap saja dikeluarkan, tentu hal ini akan menjadi pertanyaan besar oleh banyak pihak. Jangan sampai citra islam Indonesia rusak oleh aturan nyeleneh yang dipertanyakan urgensinya oleh banyak orang.
Jika hari ini pelarangan pemakaian cadar dibiarkan, bisa jadi besok ataupun selanjutnya pelarangan demi pelarangan pemakaian atribut islam tentunya akan diberlakukan juga. Akankah masa depan Islam Indonesia seperti Eropa? Kita tunggu saja!. Wallahu’allam.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Teologi islam di Universitas Al-Azhar-Cairo, Mesir